Ayat di atas jelas menyatakan bahwa jihad merupakan suatu kewajiban bagi semua muslim yaitu dengan jihad yang sebenar-benarnya. Adakah jihad yang bukan sebenar-benar jihad ?. Sudah benarkah pemahaman kita sendiri akan jihad itu sendiri ?. Bagian ayat berikutnya adalah dimana Allah telah memilih kita dan tidak menjadikan suatu kesempitan dalam beragama. Dari kata-kata "Dia telah memilih kamu", dapat kita tarik kesimpulan bahwa jihad dilakukan dalam rangka tujuan pokok penciptaan manusia dimana Allah menunjuk manusia seabgai khalifah di bumi sebagaimana disebutkan juga dalam surat Al Baqarah 31 "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya aku akan menciptakan khalifah di muka bumi ....". Bagian berikutnya "Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agamamu suatu kesusahan" memberikan maksud kepada kita bahwa jihad itu sendiri dilakukan oleh semua muslim sesuai dengan kemampuannya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al Baqarah 286, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...".
Menengok Kembali Pemaknaan Jihad
Jihad merupakan suatu kata yang sangat akrab didengar oleh telinga kita dan lidah kitapun sudah sangat fasih untuk mengucapkan kata tersebut, padahal sering kita tidak mampu untuk menjelaskan mengenai jihad itu sendiri dalam arti yang sebenarnya. Dalam benak pemikiran kita, ketika disebut kata jihad, maka sering dari kita, secara otomatis, mengidentikkan dengan perang melawan musuh. Tetapi benarkah pemahaman kita tentang jihad seperti ini ?. Pengartian atau pemaknaan jihad yang tidak tepat pada akhirnya akan berakibat menurunkan makna (moral) sebenarnya dari jihad itu sendiri.
Jihad berasal dari kata "jahada" yang berarti "bersungguh-sungguh" (1) . Dengan melihat arti dasar dari kata jihad ini, akan didapati makna jihad yang sangat luas dan tidak terbatas pada areal perang. Jihad merupakan rangkaian dari ajaran Islam "Amar ma`ruuf wa nahii munkar", dan sekali lagi akan kita jumpai makna yang sangat luas dan dalam darinya mengingat usaha-usaha amar ma`ruuf dan nahii munkar yang sangat banyak pula.
Jihad dan Qital dalam Wacana Islam
Al Quran selain menggunakan kata jihad, juga mempergunakan kata "qital" untuk menunjukkan dan sekaligus membedakan arti yang lebih spesifik dari jihad perang dengan jihad yang lain. Qital berasal dari kata "qatala" yang berarti "memerangi atau membunuh", makna qatala ini mengacu pada perjuangan dengan mengangkat senjata untuk memerangi musuh yang mengancam eksistensi ummat Islam. Qital merupakan bagian dari jihad, sehingga sering digunakan kata "jihad qital" untuk menunjukkan perjuangan mengangkat senjata itu sendiri. Jihad qital banyak sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad dan juga para sahabat beliau dalam rangka mempertahankan eksistensi agama dan ummat Islam.
Al Quran, dalam ayat-ayat Makiyah, perkataan jihad atau al-jihad lebih menunjukkan kepada makna-makna `am (umum) dari amar ma`ruuf dan nahi munkar. Ayat Makiyah ini dapat dijumpai di surat Al Ankabut 6 : "Sesiapa yang berjihad maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri." Dan Al Ankabut 69 : "Dan orang-orang yang berjihad dijalan Kami, sungguh Kami benar-benar akan menunjukkan mereka pada jalan jalan Kami." Sedang dalam ayat-ayat Madaniyah, akan kita jumpai makna kata jihad yang lebih spesifik ke arah jihad qital yaitu memerangi musuh. Ayat-ayat ini bisa dijumpai pada At Taubah ayat 41 : "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. " , Al-Imran 142 : "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar".
Meski ayat-ayat Madaniyah lebih spesifik kepada makna jihad qital, tetapi kerangka jihad yang dipakai itu sendiri tidak lepas dari prinsip dasar makna jihad yang lebih luas yaitu amar ma`ruf dan nahi munkar.
Dalam hadits sendiri, pemakaian kata jihad, banyak sekali yang mengungkapkan maksudnya yang mengarah kepada pengertian perang (jihad qital) itu sendiri. Hadits-hadits seperti; "Berjaga dalam jihad selama sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa dan qiyamul-lail selama sebulan." (2) ataupun hadits "Diriwayatkan dari 'Amr bin Abasah r. a. berkata bahwa ada seorang lelaki, yang berkata kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah apakah Islam itu? " Beliau menjawab, "Islam itu ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan selamatnya kaum Muslim dari lidah dan tanganmu." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah Islam yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Iman." Lelaki itu bertanya lagi: "Apa pula iman itu?" Beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah mati." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah iman yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Berhijrah." Lelaki itu bertanya lagi. "Apakah yang dimaksud dengan berhijrah itu?" Rasulullah saw menjawab, "Engkau meninggalkan kejelekan." Lelaki itu bertanya kembali: "Manakah hijrah yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad." Dia bertanya lagi: "Apakah yang dimaksud dengan jihad itu?" Beliau menjawab, "Hendaklah engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau berjumpa dengan mereka." Dia bertanya lagi: "Jihad mana yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad orang yang mempersembahkan kuda dan darahnya." (3). Atau hadits lain yang sangat banyak yang kesemuanya mengarah kepada pengartian jihad sebagai perang. Meski pemakaian kata jihad dalam hadits itu mempunyai makna praktis yang mengacu pada arti perang, harus kita pahami bahwa hadits merupakan suatu tindakan nabi untuk mengamalkan atau menafsirkan Al Quran sesuai dengan kondisi pada masanya. Hadits merupakan hasil dialektika antara nilai-nilai Al Quran dan juga kultur lingkungan sekitarnya. Rasul menggunakan kata jihad sebagai kata dari jihad qital karena memperhatikan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu dimana dalam kebiasaan orang Arab bahwa perang merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik yang biasa terjadi antar kelompok atau kabilah dan juga ancaman paling besar di masa Rasul adalah adanya ancaman perang fisik. Dengan penggunaan kata jihad ataupun kata-kata "sebaik-baik jihad adalah", nabi bertujuan untuk memberikan semangat kepada muslimin agar tidak takut kepada musuh dan juga agar selalu bersiap diri menghadapinya.
Makna "sebaik-baik jihad" dalam hadits di atas adalah bersifat sangat kondisional, dimana makna jihad yang paling utama tersebut bisa berubah sesuai dengan kondisi sekitarnya dan tidak terbatas saja pada pengertian jihad qital.
Pemaknaan jihad yang terbatas pada jihad qital akan menjadikan perjuangan Islam yang murni menjadi kabur. Islam, ajaran yang syarat dengan nilai-nilai moral lebih menekankan kepada penyelesaian-penyelesaian damai dan menjadikan jalan kekerasan atau perang menjadi alternatif terakhir setelah perdamaian atau dialog tidak tercapai. Al Quran mengajarkan untuk menyeru manusia dengan perkataan yang baik (lembut-bijak), sebagaimana disebutkan dalam surat An Nahl 125 "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". Dari ayat ini, kita akan mengetahui bahwa Islam mengajarkan untuk selalu menyampaikan pesan Islam secara damai dan apabila ada kesalahan atau penyimpangan dari pihak lainpun, penyelesaian secara damai menjadi cara penyelesaian yang diutamakan(4) .
Pengaruh dari pemaknaan yang sempit (akan jihad ataupun jihad yang paling utama) telah memberikan gambaran-gambaran negatif terhadap Islam sendiri, sebagaimana dapat dijumpai di Encyclopaedia of islam yang menyatakan "the fight is obligatory even when the unbelievers have not started it"(5) ataupun perkataan Rudolph Peters yang menyatakan "ultimate aim of jihad is `the subjection of the unbelievers` and ' the extirpation of unbelief"(6).
Di lain pihak, Islam juga mengajarkan ummatnya untuk bersikap keras kepada orang-orang kafir sebagaimana Al Quran surat Al Fath 29; "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud..." dan juga Al Baqarah 193, "Perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah belaka". "Keras" kepada orang-orang kafir atau orang yang berbeda kepercayaan dengan kita tidak hanya mengacu pada pengertian perang, tetapi lebih kepada perjuangan tegaknya nilai-nilai Islam itu sendiri yang terbebas dari nilai-nilai di luarnya, perang dilakukan apabila penyimpangan yang dilakukan oleh mereka telah mengganggu eksistensi ummat Islam. Pokok jihad itu sendiri disebutkan dalam Al Furqan 25; "Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah (wa jaahid hum) terhadap mereka dengan Al Qur`an dengan jihad (jihaada) yang besar..." Dimana jihad yang paling utama adalah pelaksanaan ajaran Islam dengan sebenar-benarnya dan tidak tercampur oleh nilai-nilai lain di luar Islam. Al Quran sendiri memberikan porsi terbesar dari isinya kepada perbaikan nilai-nilai moral manusia guna menjadi khalifah di muka bumi (7).
Jihad dan Politik
Jihad tidak bisa dilepaskan dari faktor politik yang sering menjadi latar belakang munculnya perjuangan itu sendiri. Seperti disebutkan di atas bahwa Rasul dan sahabat sering melakukan jihad qital untuk mempertahankan eksistensi Islam dan ummat Islam. Jihad, dalam artian yang lebih spesifik kepada jihad qital, pada kenyataan praktisnya lebih mengarah kepada faktor-faktor politik yang ada. Sebagaimana ungkapan dari pembaharu Islam, Muhammad Abduh, yang menyatakan bahwa terjadinya perang (jihad qital) itu sangat erat sekali dengan masalah politik dan bukan agama itu sendiri karena dalam agama di kenal prinsip "Tidak ada pemaksaan dalam beragama" (Al Baqarah 256).
Jihad di masa Rasulullah sendiri dan di masa sahabat lebih banyak yang berbau politik daripada agama. Sebagaimana yang terjadi pada perang Badr, Uhud, Fathul Makkah dll yang kesemuanya merupakan usaha-usaha politik ummat Islam guna mempertahankan eksistensinya. Di masa Abu Bakar, peperangan terhadap nabi palsu dan juga para penentang zakat pun tidak bisa dilepaskan dari peran politik yang bertujuan untuk menjaga stabilitas negara.
Dalam wacana pemikiran Islam sendiri, banyak sekali wacana-wacana yang membahas akan jihad dan qital ini. Sayyid Quthb dalam rangka menjelaskan perjalanan Islam memberikan 4 tingkatan dalam perkembangan jihad, pertama, yaitu ketika ummat Islam tinggal di Mekkah dan belum hijrah ke Madinah dimana Allah belum (tidak) mengizinkan mereka untuk mengadakan peperangan. Kedua, izin perang diberikan dalam rangka untuk membela eksistensi dari penyerang. Ketiga, Allah memerintahkan ummat Islam untuk berperang kepada orang-orang yang menyerang mereka. Keempat, Allah memerintahkan ummat Islam untuk berperang melawan semua penganut politeist. Dia (Sayyid Quthb) menyatakan bahwa setiap tingkatan diganti dengan tingkatan berikutnya dan tingkatan terakhir (keempat) adalah berlaku secara permanen (8) . Dalam bagian lain, Sayyid Quthb lebih lanjut menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan kesadaran individual yang tidak dapat dipaksakan, sebagaimana perkataannya :
"Thus wherever an Islamic community exists which is a concrete example of the Divinely-ordained system of life, it has a God-given right to step forward and take control of the political authority so that it may establish the Divine system on earth, while it leaves the matter of belief to individual conscience".(9)
Jelaslah bahwa Sayyid Quthb menjelaskan bahwa jihad dilakukan bukan karena kepercayaan yang berbeda tetapi lebih kepada usaha mempertahankan eksistensi diri dari agresi luar ataupun kepada hal-hal yang mengganggu stabilits daerah.
Pemaknaan jihad dalam wacana kontemporer, pernah dilakukan oleh Hasan Al-Turabi (pemimpin Ikhwanul Muslimin Sudan), dimana beliau menyatakan bahwa jihad yang paling penting di Sudan saat ini adalah pertanian. Beliau melihat bahwa dengan pertanian, Sudan akan mampu untuk berkembang menjadi negara yang mampu berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh dan ketergantungan dari luar (terutama Eropa) (10). Hasan Al Turabi tidak membatasi pengertian jihad hanya kepada pengertian perang (jihad qital) dan beliau ternyata mampu untuk mengambil substansi pokok guna mengaplikasikan hadits-hadits Rasul meski aplikasi nyatanya berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh Rasul sendiri.
Khatimah
Jihad merupakan suatu ajaran yang pokok dari Islam dalam rangka untuk mempraktekkan prinsip amar ma`ruf dan nahii munkar guna menjadikan fungsi khalifah dari manusia menjadi realita. Jihad mendapat perhatian penting dalam Islam, sehingga Allah-pun menjanjikan balasan yang besar kepada orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, "Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An Nisa` 95-96). Pengartian jihad sangatlah kondisional dimana pemahaman substansi dari jihad (atau lebih lagi dalam usaha pengartian jihad yang paling baik) tidaklah terlepas dari usaha-usaha ijtihad manusia dalam membaca kondisi dan mendialogkan antara wahyu Al Quran dan kehidupan nyata ini.
________________________________________________________________________________
Note :
1.Jihad berasal dari kata dasar jahada, yaitu bentuk fi`il madzi "jahada" yang akhirnya berubah menjadi Al-jihad yang merupakan kata benda. Kata "ijtihad" juga berasal dari akar kata yang sama dengan jihad.
2.Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Turmudzi, dari Salman, dan Ahmad bin Abdullah bin 'Amr; seperti yang dijelaskan di dalam "Shahih al-Jami' as-Shaghir "(3480); (3481); dan (3483).
3.Al-Mundziri berkata dalam "Al-Targhib wal-Tarhib", "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang shahih, yang para rawinya bisa dianggap shahih; dan juga diriwayatkan oleh al-Thabrani dan lain-lain. Sedangkan al-Haitsami (2:207) mengatakan, "Hadits ini diriwayarkan oleh Ahmad dan at-Thabrani, dengan rijal al-hadits yang shahih.
4.Jamal Badawi, pemikir Islam Kanada, menyatakan bahwa jihad hanya diizinkan dalam usaha mempertahankan diri dari tirani atau ancaman luar (Macleans, "The Will to Fight and Die," Feb. 111991, 39) begitu juga dengan Dr. Abdelwahab Boase yang menyatakan bahwa jihad dalam pengertian militer tidaklah mempunyai pengertian penyebaran agama (Arabia "Distorting the Image of Islam," July, 1986, 78)
5.E. Tyan, "Djihad", Encyclopaedia of Islam, 2nd ed. (Leiden: Brill, 1965).
6.Rudolph Peters, "Jihad", The Encyclopedia of Religion (NewYork: Macmillan, 1987) Vol. 8:88-91.
7.Muhammad Khalaf-Allah (Mesir 1916-1997) dalam karyanya "The Quran and The States" mempertegas pernyataan Fakhr Al-Diin Al-Razi bahwa Al Quran sangat sedikit sekali memberikan porsi ayat-ayatnya kepada ayat-ayat hukum, sebagian besar dari ayat-ayatnya menekankan pada nilai-nilai moral manusia.
8. Quthb, Sayyid, "Milestone", Revised Edition.
9. Quthb, Sayyid, "Milestone", Revised Edition
10.Ramadan, Tariq ; "Islam, The West and The Challenges of Modernity", The Islamic Foundation, 2001.
oleh Muhammad Aziz
Sumber : http://www.pmij.org/index.php/content/view/93/38/
0 comments:
Posting Komentar